Budaya
politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih
berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elit politik. Budaya
seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan
dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia
mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada
budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson dalam Budi Winarno (2008), budaya
Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik
yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun
menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan
orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai
pelayan publik di kalangan elit merupakan salah satu pengaruh budaya
politik Jawa yang kuat.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto dkk dalam Budi Winarno (2008)
mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih
mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia
melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para
pejabat dan elit politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya
dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Dengan
menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status
dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan
sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan, namun kuatnya budaya
politik patrimonial dan otoriterianisme politik yang masih berkembang di
kalangan elit politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa
mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik,
akan tetapi tidak diimbangi dengan para elit politik karena
mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga
budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik
subjek-partisipan.
Terdapat
lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung
sejak reformasi 1998, antara lain:
11.
Orientasi Terhadap kekuasaan
Misalnya saja dalam partai politik, orientasi pengejaran
kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat
partai-partai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis.
22.
Politik mikro vs politik makro
Politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik
mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang
terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Sedangkan pada politik makro
tidak terlalu diperhatikan dimana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar
kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik,
sistem hukum, civil society, dsb.
Kepentingan negara
vs kepentingan masyarakat
1a.
Realitas politik lebih berorientasi pada
kepentingan negara dibandingkan kepentingan masyarakat.
2b.
Bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama
Desentralisasi
politik
Pada
kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih pada
berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Dengan
demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial,
berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis.
Hal ini menurut Soetandyo Wignjosoebroto dalam Budi Winarno (2008) karena
adopsi sistem politik hanya menyentuh pada dimensi struktur dan fungsi-fungsi
politiknya, namun tidak pada budaya politik yang melingkupi pendirian sistem
politik tersebut.
Pada
saat ini, keadaan ekonomi rakyat di lapangan sudah sangat mendesak. Keadaan dan
situasi ekonomi mereka semakin terhempit seiring dengan kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok, dan meningkatnya tingkat kebutuhan.
Rakyat
sangat membutuhkan sebuah kebijakan-kebijakan politik yang lebih memihak kepada
perkembangan ekonomi rakyat, bukan hanya kepada kepentingan politik dan hukum terlebih lagi kepada berita
perseteruan partai politik yang saat ini sedang marak di berita-berita baik di
media televisi maupun cetak. Pemerintah harus lebih memperhatikan rakyatnya dan
tidak hanya memikirkan partai dan kepentingan golongan. dibutuhkan seorang pemimpin yang lebih bijak dan lebih memperhatikan rakyatnya.
terima kasih artikelnya.
ReplyDeletewww.kiostiket.com
Thankksss good!
ReplyDelete